Kamis, 20 Februari 2014

Kampung bahasa Pare dan Dinamika Sosial

Dulu, terdengar dari mereka, yang pulang dari negeri seberang, bercerita tentang sebuah daerah nan elok dengan pendidikan dan perjuangan. Maka, atas landasan semangat itu, mereka merantau ke negeri seberang...


Setiap pergerakan pasti akan menghasilkan perubahan bagaimanapun jenis perubahannya. Itulah yang menjadi inti pembahasan tulisan saya kali ini.  Dan tulisan ini khusus membahas Pare (Kampung Inggris Kediri) dan peristiwa apa saja yang terjadi di sana.



Aku teringat ketika mendengar mereka berdiskusi tentang perjuangan di kampung bahasa, Pare, Kediri, Jawa Timur, yang membuat telinga ini memanas. Bukan karena ketidaksukaan tetapi karena adanya keinginan turut andil dalam perjuangan mereka. Sangat tidak enak hanya jadi pendengar setia cerita history perjuangan mereka.
Dari cerita mereka, terbersit niat dalam diri saya untuk memulai perjuangan itu juga. Kata mereka, Pare adalah kursusan raksasa, tempat mencetak para revolusioner yang terlepas dari perbudakan karakter dan pemikiran, yang terjadi di berbagai institusi pendidikan di negara kita. 
Pare adalah surga di bawah langit Tuhan. Siapapun berhak mendapat pendidikan di Pare. Lingkungan yang alami, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, jauh dari lingkungan  para pemilik kepentingan, dan para berhala-berhala kota  besar, biaya kursusan murah, biaya hidup juga terjangkau. 
Pare merupakan tempat yang efektif untuk belajar tentang apapun, khususnya dalam bidang bahasa Inggris. Gambaran Pare yang saya jelasakan di atas, merupakan gambaran Pare tempo doeloe.
Setelah pertama kali kaki ini berpijak di sini, maka tekat dan niat semakin kuat untuk memanfaatkan semua waktu dengan semaksimal mungkin melakukan apapun. Seiring berjalannya waktu, kuteringat kembali kata mereka yang dahulu yang pernah berpijak di tempat ini. Perbedaan itu pun nampak dari perkataan mereka dan realitas yang terasa saat ini, di mana Pare saat ini telah disusupi orang-orang yang tak sadar dengan perbuatan mereka. Mereka mempengaruhi para pencari ilmu dengan aura negatif, dan mengajak orang lain ke tempat-tempat hiburan, di tambah lagi dengan berdirinya kos-kosan yang menambah aura negatif, dengan tanda kutip.
Memang, kata "pencegahan" tidak bisa terucapkan ketika masih ada kata bergerak, tetapi kata "melawan" mustahil tidak terucapkan ketika para penindas masih eksis dengan berhala terbesarnya, kapitalisme. Kita tak tahu juga apa yang menjadi kunci idealnya, tetapi kata "perjuangan" yang telah tersimpan dalam alam bawah sadar mengatakan, harus tetap diperjuangkan demi generasi pelanjut sampai adanya tongkat estapet yang dapat menjaga tempat ini dan menciptakan aura-aura positif untuk melawan para berhala yang menguasai sistem dunia saat ini.  
Kata "hedonisme" dan "kapitalisme" yang menjadi title tulisan saya ini mungkin terlalu mendramatisir situasi Pare saat ini. Tulisan ini sebenarnya hanya sebagai perantara teriakan-terikan mereka, yang merindukan Pare seperti dahulu, yang pernah mereka rasakan. Ketika itu, mereka tidak pernah terpengaruh gaya hedon. Yang mereka tahu hanya belajar. Karena mereka, waktu itu, betul-betul merasakan lingkungan yang lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas dan fasilitas. 
Saat ini Pare yang dikenal sebagai tempat belajar telah berubah menjadi tempat refreshing dan bersenang-senang. Bertatap muka seperti romansa tersendiri dalam lingkungan belajar, maka alangkah baiknya bila terbentuk persahabatan yang sehat. Pare terbentuk  tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pare lahir--sebagai tempat kursus terbesar saat ini--dari usaha dan perjuangan yang keras dari para perintis. Lalu, apakah perjuangan yang memakan waktu dan tenaga itu hancur hanya karena kepentingan segelintir orang yang ingin meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya? Apalagi, ditambah dengan vakumnya lembaga-lembaga diskusi ilmiah yang turut andil mengawal Pare. Memang tidak mudah menjaga perkumpulan tetap solid dalam satu jalur ketika tidak ada sistem ideal yang dapat menopangnya. Juga karena dinamika-dinamika yang tercipta oleh pemikiran manusia yang beda-beda. 
Esensi perbedaan sebenarnya bukan sebagai pembatas atau pun pemisah, tetapi sebagai pemersatu. Bahwa ketika perbedaan disatukan dalam satu ruang, akan menciptakan suatu harmoni atau keseimbangan. Dan sebenarnya, itulah tujuan utama kita menciptakan sebuah perkumpuan yang biasa kita kenal dengan sebutan Organisasi.
Suatu tindakan luar biasa ketika Pare disulap menjadi tempat belajar, berkarya, dan berjuang, bahkan bukan hanya dalam bidang bahasa inggris, Pare juga dapat dimanfaatkan sebagai wadah bertukar pikiran tentang segala hal, mengumpulkan ide-ide dari Sabang sampai Merauke. Untuk mempersatukan pemikiran dan harapan kita tentang gambaran Indonesia di masa depan, tentunya harus jauh dari oknum yang lebih mengutamakan kepentingan golongan. Karena, Pare bukan hanya untuk segelintir golongan, akan tetapi Pare adalah tempat belajar untuk semua golongan, tanpa terkecuali.
Itulah harapan besar yang sedang dilanda masalah besar. Hal ini menjadi pekerjaan rumah kita, yang masih peduli dengan tempat ini, tempat kita belajar, berkarya, dan berjuang, Pare.

                                                                                                                                                                    Muhammad Qadri.
               Pare, Kediri, 11 Januari 2014


Tidak ada komentar:

background:#0a58a3; border-bottom:4px solid #1780dd; padding:6px 15px 4px;

Posting Komentar